Oleh: Usman Lonta
(Politisi dan Akademisi)
Hari ini saya memandang Indonesia seperti kapal Titanic yang berlayar di Samudra Atlantik. Kisah ini sudah lebih dari satu abad, tepatnya pada malam 14 April 1912, kapal Titanic melaju anggun di Samudra Atlantik Utara.
Kapal megah itu diyakini tak mungkin tenggelam. Musik berdenting di ruang dansa, para penumpang larut dalam kemewahan. Sementara di ruang radiogram pesan-pesan darurat terus masuk. Radiogram dari kapal-kapal sekitar sudah berulang kali memperingatkan tentang bahaya bongkahan es pada jalur Titanic tersebut.
Namun, peringatan itu diabaikan. Operator radio lebih sibuk melayani pesan pribadi penumpang yang kebanyakan orang-orang kaya. Konon, Kapten tidak pernah benar-benar menerima informasi penting yang bisa menyelamatkan kapal.
Beberapa jam kemudian, Titanic menabrak gunung es. Dalam tiga jam, kapal yang dipuji sebagai puncak teknologi modern ketika itu tenggelam, menyeret lebih dari 1.500 jiwa ke dasar laut. Tragedi itu menjadi simbol keangkuhan manusia yang abai pada peringatan.
Belajar dari satu abad lebih tragedi Titanic, saya melihat metafora ini begitu relevan untuk Indonesia. Negeri ini ibarat sebuah kapal raksasa yang mengarungi samudra sejarah.
Indonesia mempunyai banyak kemewahan seperti kemewahan yang ada pada kapal Titanic. Sumber daya alam melimpah, jumlah penduduk produktif yang besar, wilayah luas dengan posisi strategis. Dalam bahasa Titanic, Indonesia adalah kapal megah dengan teknologi canggih dan kabin-kabin mewah. Namun, sebagaimana Titanic, kapal besar ini juga rawan bahaya. Gunung es dalam perjalanan Indonesia.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:


















































