
Oleh: Nurul Fashliyah Thamrin
Seberapa sering kamu merasa terluka? Pernahkah kamu menghitungnya? Pernahkah kamu benar-benar menyadarinya, atau hanya membiarkannya mengendap, berharap waktu akan menghapusnya di kemudian hari?
Kadang, kita baru sadar pernah terluka ketika waktu sudah berlalu jauh, saat sesuatu yang kecil, entah kata, situasi, atau peristiwa, tiba-tiba mengusik apa yang telah lama terkubur dalam ingatan. Dalam kondisi seperti ini, sebagian dari kita mungkin memilih untuk diam, berpikir luka akan sembuh dengan sendirinya, atau menganggapnya tidak penting.
Namun siapa yang tahu, mungkin di situlah diri sedang benar-benar membutuhkan pertolongan.
Jadi, apakah ini bentuk dari ketidaktahuan, atau keengganan untuk benar-benar melihat ke dalam diri?
Budaya yang Membungkam Perasaan
Ketidaktahuan dan keengganan sering berjalan beriringan, seperti dua sisi dari kegelapan yang sama.
Ketidaktahuan membuat seseorang tidak sadar bahwa dirinya sedang terluka, sementara keengganan membuatnya tahu bahwa ia terluka, namun memilih untuk tidak melihat luka itu.
Dalam budaya kita yang begitu menjunjung kekuatan dan kesabaran, kita jarang diberi ruang untuk merasa lemah. Kita diajarkan untuk menahan air mata.
Sejak kecil, ketika terjatuh, hal pertama yang kita lakukan adalah menangis. Itu adalah refleks alami untuk mengekspresikan emosi, entah karena sakit, kaget, atau takut dimarahi. Namun alih-alih ditenangkan atau ditanya apakah kita baik-baik saja, yang sering kita dengar justru kalimat seperti, “jangan menangis” atau “berdiri sendiri”.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: