
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Politik tidak hanya kontestasi dalam kepintaran, usulan kebijakan, atau penampilan fisik. Namun juga kontes popularitas (popularity contest). Seorang politisi boleh tidak berparas ganteng atau cantik; tidak pintar, dan tidak punya agenda apapun. Namun dia tetap populer.
Hal tersebut disampaikan peneliti ISEAS Yosuf-Ishak Institute, Made Supriatma, melalui akun media sosialnya. Dia membahas fenomena tersebut yang belakangan ini makin ramai di ruang publik.
Menurutnya, hal itulah yang terjadi dalam politik kita sekarang ini. Hal-hal dangkal -- dan bukan substansial -- akan memenangkan Anda dalam kontes kepopuleran. Media sosial memperkuat ini semua. Banyak hal dungu dan kelakuan yang dongok justru membuat seorang politisi menjadi populer.
Joget gemoy, lanjut Made, membawa orang menjadi presiden. Dan, hei, jangan dikira terjadi begitu saja. Tidak. Gemoy adalah hasil koreografi. Ia adalah hasil studi mendalam tentang kebiasaan manusia Indonesia yang menjadi pemilih -- khususnya di media-media sosial.
"Saya dengar, ia adalah hasil kerja sebuah perusahan dan konsultan politik dari sebuah negara di Eropa Timur," ungkap Made, dikutip Kamis (23/10/2025).
Sang konsultan dan perusahannya, sambung dia, juga sudah sukses membawa BongBong Marcos Jr ke tampuk kekuasaannya. Itu sebuah perjalanan yang sesungguhnya mustahil, Marcos Sr sang ayah adalah seorang Kleptokrat -- penguasa maling. Semua orang tahu itu. Namun dengan media sosial, semua ingatan itu dicuci bersih.
Sama. Gemoy juga seperti itu bukan? Apa? Tidak bermoral? Gaes, ini bukan masalah moral. Ini adalah masalah, seperti kata Hasan Nasbi, menang dan kalah. Kowe nggak populer pas masa kampanye, kowe out. Kalah! Tapi tentu penentu kemenangan pemilu itu bukan hanya popularitas. Kita tahu, logistik juga penting. Kalau tidak yang paling penting. "Tapi popularitas plus logistik akan memberikan Anda 58%, seperti approval rating pemerintahan sekarang. Iya kan?" ujarnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: