
Oleh: Iqbal Mochtar, Dr Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI dan Ketua Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa)
DALAM beberapa minggu terakhir ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) kembali membuat blunder. Ia melakukan tindakan yang bukan hanya kontroversial tetapi berpotensi merusak tatanan ketahanan nasional. Dan ini justru terjadi ditengah gagalnya ia memperbaiki iklim kesehatan, mulai dari profil kesehatan Indonesia yang berada terendah keempat di wilayah ASEAN, distribusi dokter yang timpang hingga regenerasi tenaga spesialis yang mandek.
Blunder pertama adalah penghentian program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Anestesi di RS Kariadi Semarang dan RS Hasan Sadikin Bandung. Ini terjadi menyusul dugaan perundungan dan pelecehan seksual disana. Meski isu ini sensitif dan patut diusut tuntas, tindakan menghentikan seluruh program pendidikan adalah langkah over-reaktif, tidak proporsional, dan merugikan banyak pihak. Apakah adil menghukum seluruh peserta didik karena ulah satu-dua oknum? Tentu tidak.
Penghentian ini berdampak langsung pada banyak aspek: masa pendidikan PPDS menjadi molor, beban biaya meningkat, dan universitas kesulitan mencari rumah sakit pengganti yang setara dalam hal fasilitas, kompetensi, dan ketersediaan kasus yang sesuai. Peserta PPDS dan orang tuanya harus mempersiapkan tambahan dana pendidikan untuk tambahan masa studi akibat penghentian ini. Layanan pasienpun terancam terganggu karena peran PPDS sangat vital dalam sistem pelayanan rumah sakit. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah narasi Kemenkes bahwa Indonesia kekurangan dokter. Maka patut dipertanyakan: benarkah pemerintah ingin mempercepat regenerasi tenaga medis, atau justru memperlambatnya dengan kebijakan yang inkonsisten?
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: