Beras, Titisan Dewata dalam Budaya Bugis-Makassar

4 hours ago 7
ilustrasi beras melati ilustrasi beras

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Dalam kebudayaan Bugis-Makassar, beras bukan hanya sekadar makanan pokok. Ia diposisikan sebagai simbol kemuliaan, titisan dewata, dan bagian sakral dari identitas kultural yang mengakar dalam epos mitologis I La Galigo.

Sejak berabad-abad lalu, beras telah menjadi sumber pangan utama dan tak tergantikan. Dalam narasi mitologi Bugis, beras bukan sekadar hasil bumi, melainkan anugerah langit. Kisah Sangiang Serriq dan kucing belang Meong Mpaloe dalam I La Galigo menggambarkan beras sebagai titisan dewata yang harus dihormati. Dikisahkan pula bagaimana Sangiang Serriq bersedih karena manusia memperlakukan padi dan kucing penjaganya secara tidak layak, dipukul dan disia-siakan.

Meski I La Galigo adalah karya sastra yang bersifat mitologis, masyarakat Bugis mempercayainya sebagai kebenaran historis. Maka tak heran bila hingga kini, beras diperlakukan dengan penuh kehormatan.

Ada sejumlah nasihat dan larangan adat yang masih dijaga, di antaranya: “Tutuplah tempat berasmu, kumpulkanlah takaranmu… Jangan sekali-kali mengosongkan tempayanmu juga pancimu di malam hari… Jangan menghambur-hamburkan beras” (Nurhayati Rahman, Meong Mpaloe, 2009). Bahkan saat mengambil beras, perempuan Bugis-Makassar akan jongkok, bukan membungkuk, sebagai bentuk penghormatan terhadap beras.

Beras juga menjadi bahan utama dalam berbagai sajian tradisional pada acara-acara penting, khususnya pesta pernikahan. Tengoklah dalam pesta bangsawan, di mana dua hari sebelum acara, puluhan perempuan memasak 12 jenis kue, hampir semuanya berbahan dasar beras: binangka, cucuru, putri sala, baje’, sikaporo, hingga kaddo minyak. Selain lezat dan manis, kue-kue itu menyimpan nilai simbolik tentang kemuliaan bahan dasarnya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Situasi Pemerintah | | | |