
Oleh A. Nadia Amalina
(Pelajar)
Setiap pulang sekolah, saat langkah kaki terasa berat dan kepala dipenuhi tugas, ada satu hal yang sering kita lihat tapi jarang kita perhatikan sungguh-sungguh: langit.
Birunya yang teduh, awan yang bergumpal perlahan, atau warna keemasan menjelang senja sering menjadi latar tanpa makna. Padahal, di balik langit itu, ada penjelasan ilmiah yang sering tak kita sadari karena terlalu sibuk menjalani hari.
Cahaya matahari yang kita terima di Bumi sebenarnya berwarna putih. Tapi saat melewati udara, cahaya itu dihamburkan oleh molekul gas di atmosfer. Proses ini disebut penghamburan.
Warna biru, yang memiliki panjang gelombang lebih pendek, lebih mudah terhambur daripada warna lain. Itulah sebabnya langit tampak biru. Sementara warna merah dan kuning yang panjang gelombangnya lebih panjang, tidak mudah terhambur, sehingga tetap bergerak lurus ke Bumi sebagai cahaya matahari langsung.
Uniknya, cahaya ungu sebenarnya lebih mudah terhambur daripada biru, tapi langit tetap terlihat biru. Mengapa? Karena mata manusia lebih peka terhadap biru, dan cahaya biru juga lebih banyak dikandung oleh sinar matahari dibandingkan cahaya ungu.
Jadi, saat kita melihat langit di siang hari, sebenarnya kita sedang menyaksikan kerja sama antara cahaya, atmosfer, dan mata kita sendiri.
Saat matahari mulai tenggelam, momen yang akrab bagi kita yang pulang sore atau menunggu jemputan lebih lama saat warna langit berubah menjadi jingga, merah, bahkan keunguan. Hal ini terjadi karena sinar matahari harus melewati lebih banyak lapisan udara.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: