Ketika Mati Lebih Baik; Potret Sunyi Kesehatan Mental Perempuan

3 weeks ago 24
Putri Sari R

Oleh: Putri Sari R
(Aktivis FLP, Alumni Universitas Negeri Makassar)

Saya perempuan, hati saya teriris melihat banyak perempuan harus bergulat dengan gangguan kesehatan mental, dari yang tampak sepele hingga yang akhirnya merenggut nyawa melalui bunuh diri.

Baru-baru ini, seorang mahasiswi berusia 21 tahun di Makassar ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya. Diduga, tekanan skripsi dan konflik dengan pacar menjadi penyebab utama tragedi itu. Tidak lama sebelumnya, seorang wanita asal Toraja juga ditemukan tewas dengan cara sama di Indekosnya—diduga tertekan karena persoalan cinta yang berakhir memilukan .           

Banyak kasus yang membuktikan pernyataan ini. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), terdapat setidaknya lebih 800.000 kasus bunuh diri setiap tahunnya, dan yang tertinggi adalah pada usia muda. Sementara itu, alasan bunuh diri yang paling banyak terjadi adalah karena masalah percintaan. Menurut data Riskesdas (2007) perempuan cenderung lebih mudah menderita gangguan kesehatan mental dibanding laki-laki, dengan perbandingan 2:1.

Terkhusus Sulawesi Selatan, juga menghadapi krisis kesehatan mental yang serius. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional di provinsi ini mencapai 12,83%—lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Percintaan, dan Tekanan Mental

Faktanya, banyak kasus bunuh diri perempuan berawal dari konflik percintaan. Banyaknya berita yang kita lihat membuktikan bahwa kasus bunuh diri masih saja berlangsung hingga detik ini. Mengapa demikian? Para pasangan yang belum kuat menghadapi problematika menciptakan adanya tekanan mental yang susah untuk dikontrol.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Situasi Pemerintah | | | |