Skandal Korupsi Makin Gila, Hardjuno Pertanyakan Mengapa DPR Tak Segera Sahkan RUU Perampasan Aset?

2 months ago 61
Pengamat Hukum Dr. (Cand.) Hardjuno Wiwoho

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang kasus korupsi yang terus terjadi di Indonesia semakin menegaskan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menindak praktik rasuah. Berbagai skandal bernilai triliunan rupiah kembali mencuat, termasuk dugaan megakorupsi di PT Pertamina yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun pada 2023. Jika pola ini berlangsung sejak 2018 hingga 2023, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp968,5 triliun, nyaris menyentuh angka 1 kuadriliun.

Kasus ini menambah deretan skandal besar lainnya, seperti BLBI, Jiwasraya, ASABRI, dan PT Timah. Di tengah krisis kepercayaan terhadap pemberantasan korupsi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset digadang-gadang sebagai solusi jitu. Sayangnya, hingga kini pembahasannya masih mandek di DPR.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi. “Saya kira, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU adalah harga mati. Tidak boleh ditunda lagi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Menurut Hardjuno, perampasan aset adalah cara paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor. “Kalau hanya mengandalkan hukuman penjara, tidak akan cukup. Banyak kasus membuktikan bahwa meskipun divonis bersalah, koruptor tetap bisa hidup nyaman setelah keluar dari tahanan karena aset mereka tidak tersentuh. Oleh sebab itu, perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Sebagai kandidat doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hardjuno menjelaskan bahwa strategi pemberantasan korupsi harus mencakup tiga aspek utama: pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset. Namun, aspek pemulihan aset selama ini sering diabaikan karena mekanisme hukum yang berbelit.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Situasi Pemerintah | | | |